Minggu, 17 November 2013

Mukasyafah Menembus Pembatas Dua Samudra

Ibnu Abbas RA di dalam menafsirkan ayat di atas (QS. az-Zumar/39; 42) berkata:

قَال: بَلَغَنِى أَنَّ أََرْوَاحَ الأَحْيَآءِ وَالأَمْوَاتِ تَلْتَقَى فِى الْمَنَامِ فَيَتَسَاءَلُوْنَ بَيْنَهُمْ, فَيُمْسِكُ اللهُ أَرْوَاحَ الْمَوْتىَ وَيُرْسِلُ أَرْوَاحَ الأَحْيَآءِ إِلَى أَجْسَادِهَا

“Telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya ruh orang hidup dapat bertemu dan berkomunikasi dengan ruh orang yang sudah mati di dalam mimpinya, kemudian ruh orang mati ditahan oleh Allah, sedang ruh orang yang sedang tidur dilepaskan kembali kepada jasadnya” . (Ibnul Qoyim, “Kitab ar-Ruh” ; 19)

Ibnu Abi Khaitam RA berkata di dalam penafsirannya atas firman Allah: “Wallaatii Lam Tamut fii Manaamihaa” (dan ruh yang belum mati di dalam tidurnya). berkata: “Allah memegang ruh orang yang mati dalam tidurnya, maka ruh orang yang hidup bertemu dengan ruh orang yang telah mati, mereka saling berkomunikasi dan saling mengenal. Kemudian ruh orang hidup dikembalikan ke jasadnya di dunia untuk meneruskan sisa hidupnya yang sudah ditentukan dan ruh orang yang sudah mati dikembalikan kepada jasadnya yang di tanah”. (Ibnul Qoyim, Kitab ar-Ruh : 19)

Alam jasmani dan alam ruhani ibarat dua samudra yang dibatasi daratan sehingga keduanya tidak dapat bertemu, akan tetapi dengan kehendak Allah suatu saat dibiarkan bertemu, seperti alam mimpi dan alam jaga. Sesungguhnya alam mimpi itu bagian dari alam barzah. Terbukti, seandainya orang yang bermimpi itu tersesat jalan di alam mimpinya hingga tidak dapat kembali ke alam jaga, maka bisa dibayangkan apa yang dilakukan oleh orang lain terhadap jasad yang telah ditinggalkan kehidupan tersebut, tentunya segera diantar ke liang lahat. Allah menyatakan dua alam itu dengan firman-Nya:

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ (19) بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ

“Dia (Allah) membiarkan dua lautan mengalir yang kemudian saling bertemu-Antara keduanya ada batas yang tidak dapat dilampaui”. (QS. ar-Rahman/55; 19-20)

Dimensi jasmani disebut Basyariah, sedangkan dimensi ruhani disebut Nubuwah atau Risalah bagi seorang Nabi/Rasul, dan disebut Walayah (bagi orang beriman yang sholeh)”. Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ

“Katakan bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa”. (QS. Fushilat:/41; 6)

Yang dimaksud basyariah adaalah ‘Ruh kehidupan’ yang menghidupi ‘jasad kasar’ manusia, baik yang terbit dari kemauan (irodah) maupun kemampuan (qudroh). Basyariyah ini mencakup segala aspek kecerdasan manusia termasuk juga intelektual, spiritual dan emosional. Adapun yang dimaksud Nubuwah atau “walayah” adalah apa yang dimaksud dengan ayat di atas; يُوحَى إِلَيَّ Yuuhaa ilaiyya (diwahyukan kepadaku). Yaitu berupa wahyu atau ilham atau inspirasi yang masuk di dalam hati orang beriman yang datangnya dari urusan ketuhanan. Dengan walayah itu supaya manusia terbimbing mengikuti hidayah Allah sehingga jalan hidupnya berjalan mengikuti ‘ketetapan Allah’ sejak zaman azali.

Rasulullah SAW menyatakan hal itu dengan sabdanya: “Allah mendidikku dan Allah memperbaiki pendidikan-Nya kepadaku” (atau dengan kalimat yang searti). Sebagaimana juga yang dinyatakan Allah melalui firman-Nya:

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ

“Sesungguhnya Waliku ialah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia memberikan Walayah kepada orang-orang yang sholeh” . (QS.al-A’raaf: 7/196)

Dengan walayah berarti manusia mendapat dua ‘ruh kehidupan’, pertama dari seluruh aspek kecerdasannya sendiri dan kedua yang datang dari rahasia tarbiyah (pemeliharaan) Allah. Dengan walayah berarti manusia mendapatkan tingkat derajat atau Maqom di sisi Allah, meskipun maqom itu secara lahir merupakan buah ibadah dan perjuangan. Dengan maqom itu seorang hamba berpotensi mendapatkan fasilitas (syafa’at), baik secara ilmiah maupun amaliah yang hakekatnya merupakan sistem tarbiyah rahasia yang isinya berupa penjagaan, pertolongan dan pemeliharaan yang sumber asalnya datang dari warisan para Nabi dan para Rasul. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

العلمآء ورثة الأنبيآء
“Ulama’ adalah pewaris para Nabi” .

Untuk menghidupkan kehendak walayah, manusia terlebih dahulu harus mampu meredam kehidupan basyariyah, yang demikian itu dilakukan dengan tujuan semata-mata menggapai ridlo Allah. Itulah hakekat mujahadah di jalan Allah atau dengan istilah lain disebut “meditasi Islami”.

Ketika dengan mujahadah dan riyadhah yang dilakukan, seorang salik berhasil menghidupkan kehendak walayah—walaupun sedetik atau lebih singkat dari itu, maka berarti saat itu memasuki suatu kondisi seperti “alam orang mati” atau “alam orang tidur”. Sebagaimana yang dimaksud dengan ayat di atas: “Allahu Yatawaffal an-fusa Hiina Mautihaa” (QS. 39: Ayat 42), itulah yang dimaksud “mati dalam hidup”. Dalam keadaan seperti itu, orang tersebut berpeluang memasuki suatu potensi terjadinya interaksi ruhaniah, baik terhadap orang hidup maupun orang mati, namun itu manakala mujahadah dan riyadhoh tersebut sejak awal sudah dikondisikan dengan pelaksanaan tawasul secara ruhaniah kepada guru-guru ruhaniah baik yang hidup maupun yang sudah meninggal dunia.

Ketika proses pelaksanaan dzikrulah dilakukan oleh seorang salik dengan benar sehingga mampu melewati titik kulminasi antara dua alam, maka akan membuahkan suatu proses pemahaman hati yang disebut Fikir, lalu buah Fikir itu disebut Ibroh (kesimpulan). Yang dimaksud dengan Dzikir, Fikir dan Ibroh adalah tingkat pencapaian (maqamaat) yang harus dicapai oleh seorang hamba dalam rangka melaksanakan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(QS.Ali Imran/191)

Setiap terjadi perpindahan dari satu tingkat kepada tingkat yang lain, dengan izin Allah seorang salik memasuki titik klimaks perjalanan ruhani, itulah batas alam lahir dan alam batin yang ada dalam jiwa manusia. Meskipun titik klimaks itu dialami hanya dalam waktu sangat singkat, yang keadaannya seperti antara sadar dan tidak sadar padahal sadar, saat-saat seperti itu merupakan kondisi yang sangat ditunggu-tunggu oleh para salik. Karena setelah masa klimaks itu terlampaui dan kesadaran berangsur-angsur kembali sempurna, segala sesuatu yang datangnya dari ‘urusan ketuhanan’ dapat terjadi diluar dugaan. Ketika pengosongan terkondisi dengan sempurna maka yang masuk setelah itu diharapkan datangnya dari urusan ketuhanan.

Dalam keadaan seperti itu, seorang salik dapat merasakan kenikmatan ruhani yang luar biasa yang tidak dapat digambarkan oleh suatu katapun. Kenikmatan ruhaniyah tersebut akan membekas seumur hidup. Demikian itu karena hati sang pengembara telah mendapatkan “Futuh” (terbukannya matahati) dari Tuhannya. Hati yang rindu telah menemukan ‘buah ibadah’ yang dipetik di dunia yang selanjutnya mampu dijadikan landasan untuk melanjutkan perjalanan. Dengan pengalaman spiritual itu, menjadikan mereka tidak lagi mudah tergoda oleh tipu daya setan yang selalu menghadang jalan ibadah.

Seperti itulah proses masuknya ‘ilmu rasa’. Pemahaman hati yang mampu menancapkan kenikmatan azaliah yang diturunkan di dunia fana yang terkadang menjadikan hati seorang hamba ‘mabuk cinta’ sehingga mendorongnya berbuat lebih mengutamakan urusan akherat daripada urusan dunia.

Pengalaman spiritual yang mampu menjadikan hati seorang hamba yakin terhadap Allah, rasul-Nya dan hari akherat. Ilmu batin yang menjadikan manusia mampu menindaklanjuti dan mengaplikasikan seluruh potensi kecerdasan secara lahir yang sudah dimiliki. Ilmu yang menjadikan manusia pandai berbuat untuk menata diri sendiri bukan hanya pandai berbicara untuk menata urusan orang lain. Keadaan yang dipaparkan di atas digambarkan Allah dengan beberapa ayat di bawah ini. Allah berfirman-Nya:

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ – وَمَا أَمْرُنَا إِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran * Dan urusan Kami hanyalah satu, bagai satu kedipan mata”. (QS. al-Qomar/54; 49-50)

Di dalam al-Qur`an Surat yang lain Allah telah menggambarkannya dengan lebih terperinci sebagaimana firman-Nya:

إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (16) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (17) لَقَدْ رَأَى مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى

“Ketika Sidroh diliputi oleh yang meliputi – Penglihatan tidak berpaling dan tidak melampaui – Sesungguhnya dia telah melihat sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang paling besar”. (QS. an-Najm/53; 16-18)

Lafad as-Sidroh dalam ayat di atas, menurut pendapat sebagian Ulama’ ahli tafsir, ialah asy-Syajaroh, yang berarti pohon. Yaitu pohon yang tumbuh di dalam hati sanubari seorang hamba. Sebagaimana termaktub dalam QS. Ibrahim; 24.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan, Kalimat yang baik seperti Pohon yang baik…..”. (QS. Ibrahim; 14/24)

Adapun secara khusus yang dimaksud lafad “Sidroh” adalah Sidrotul Muntaha. Sebagaimana firman Allah:
عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهى
“Di Sidrotil muntaha”. (QS. 53; 14)

Sidrotulmuntaha adalah maqaamat (terminal) terakhir yang mampu dicapai indera (alat perasa) makhluk meskipun harus dengan bimbingan Wahyu. Artinya; setelah seorang hamba mampu melewati terminal tersebut, berarti ia akan memasuki dimensi yang berbeda. Yakni dimensi alam ruhaniah, di mana seorang hamba berpotensi berinteraksi dengan ruhani para guru-guru ruhaniah yang sudah wafat. Seperti orang berhasil membuka situs di alam mayapada (internet), kemudian ia melihat data, ketika ia berhasil men-download apa-apa yang dilihatnya ke dalam file yang ada di dalam hard disk computernya, maka proses perpindahan data dari situs ke dalam file tersebut adalah gambaran proses masuknya “Ilmu Laduni” dalam hati seorang murid yang dihasilkan melalui proses interaksi antara seorang murid dengan guru mursyidnya yang sudah mati atau disebut BERKOMUNIKASI DENGAN ORANG MATI.

Hal tersebut bisa terjadi, bukan karena ruh orang mati hadir kembali di dunia, namun dengan izin Allah ruhani orang yang masih hidup berpotensi menembus dimensi alam barzah serta dapat memindahkan apa-apa yang disimpan di sana. Yang dipindahkan itu adalah atsar (tapak tilas ibadah) yang sudah dilakukan oleh para pendahulunya. Atsar tersebut, walaupun pemiliknya sudah meninggal dunia akan tetap terjaga sampai hari kiamat di Lauh Mahfudz, sebagai sebuah diary yang nantinya dapat dibaca kembali oleh pemiliknya. Bagaikan situs yang bertebaran di mayapada, maka seorang hamba yang mampu mengakses dengan pelaksanaan tawasul kepada pemiliknya dapat memanfaatkan data maupun fasilitas yang tersimpan di dalamnya. Allah mengisyaratkan hal itu dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfudh)”. (QS. Yaasin; 12)

Jadi, salah satu buah yang bisa dipetik dari hasil sebuah proses interaksi ruhaniah antara murid dan gurunya adalah ‘ilmu laduni’ yang diwariskan oleh pemilik sebelumnya yaitu guru Mursyid yang ditawasuli, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Buah yang dipetik itu adalah bentuk transfer pemahaman hati, bukan ilmu pengetahuan secara aqliah dan juga bukan penampakan secara hayaliah. Inilah buah thoriqoh yang paling utama, maka jadilah kadang-kadang ilmu yang dimiliki para murid sama jenis dan sifat dengan ilmu yang dimiliki guru Mursyidnya.

Manakala buah yang didapatkan dari interaksi antara dua dimensi yang berbeda itu berupa penampakan-penampakan dalam bentuk gambar yang masih mengandung keraguan dalam hati, maka yang demikian itu bukan merupakan buah interaksi ruhaniah yang dicari. Akan tetapi hasil rekayasa sihir yang dimunculkan oleh setan jin di dalam hayal manusia yang tujuannya untuk menyesatkan perjalanan ibadah. Hal itu bisa terjadi, karena pelaksanaan tawasul tidak terbimbing oleh guru ahlinya. Akibat dari itu, orang tersebut hanya pandai berbicara tetapi tidak dapat mengetrapkan ilmunya dalam perilaku hidupnya sendiri. Allah memberikan gambaran orang tersebut dengan firman-Nya yang artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”.(QS.al-Hajj/11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar