Senin, 18 November 2013

Mengkaji diri mengupas alif


Assalamu'alaikum wr. wb.

Segala puji bgi Allah Tuhan semesta alam, beruntunglah umat Islam karea Allah menganugrahkan Al Qur'an sebagai pedoman dan petunjuk bagi umat manusia melalui utusanNya Kanjeng Nabi Besar Muhammad SAW.

Dalam kesempatan ini, saya mencoba mengulas mengenai salah satu makna yang terkandung di dalam huruf hijaiyyah yang pertama yaitu "alif". Simbolisasi huruf "alif" ini dapat kita gali dalam bagian anggota tubuh kita beserta makna-maknanya, karena Allah menciptakan wujud manusia begitu sempurna yang mana setiap bagian selain memiliki fungsi masing-masing, akan tetapi lebih dari itu memiliki makna yang sangat mendalam bagi orang-orang yang mau berpikir dan mentauladani.

Salah satu yang akan kita bahas dalam anggota tubuh kita adalah "Kelima Jari Tangan  Manusia". Dalam hal ini saya mengambil contoh bagian tubuh manusia, karena Al-Qur'an diciptakan untuk manusia sebagai pedoman hidup.



  1. Huruf "alif" pada jempol atau ibu jari mewakili symbol Al Islam الإسلام  yang mana jari jempol atau ibu jari secara esensi bermakna yang paling baik, paling bagus, paling mulia dan tiada bandingannya yaitu "Al Islam" "Innaddina 'Indallahil Islam".  Artinya: "Sebenar-benarnya agama (yang di anggap sah) di akui Allah, yaitu agama Islam". Jelas sudah bahwa tiada agama yang dapat diterima di sisi Allah melainkan Islam dan agama lain niscaya akan tertolak semua amalan dan ibadahnya.
  2. Huruf "alif" pada jari telunjuk mewakili symbol Iman ايمان yang mana jari telunjuk secara esensi berfungsi untuk menunjuk arah, sedangkan untuk menuju arah yang benar dan diridoi Allah tidak cukup hanya dengan mengaku Islam, akan tetapi harus dilandasi dengan keimanan yang tertuang dalam rukun iman yang enam.
  3. Huruf "alif" pada jari tengah  mewakili symbol Ilmu العلوم yang mana jari tengah merupkan jari yang paling tinggi posisinya diantara keempat jari yang lain, artinya secara esensi bahwa Ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting, karena menjalankan islam sendiri tidak cukup hanya dengan bersyahadat mengaku Islam dan memiliki Iman, namun tanpa dibekali Ilmu niscaya kita akan selalu dalam kebodohan. Ilmu adalah pelita, bahkan ayat suci Al Qur'an yang pertama adalah "Iqro" yang artinya baca, dengan melalui membaca maka kita akan tahu suatu hal, dengan mengetahui suatu hal maka kta akan mengerti dan memahami, itulah yang dinamakan Ilmu, dengan bebrkal ilmu insya Allah kita dapat menjalankan ibadah sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT yang tertuang dalam kitab suci-Nya. Rasulullah SAW bersabda: أُطْلُبُوا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلىَ اللَّهْدِ “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat”
  4. Huruf "alif" pada jari manis mewakili symbol Ibadah  العبادة , secara esensi jari manis kita gunakan untuk memakai perhiasan seperti cincin, maknanya adalah kita sebagai umat Islam tidak cukup hanya dengan mengaku beragama Islam dan beriman serta memiliki ilmu, namun apalah artinya bila itu semua kita tidak terapkan dan lakukan dalam suatu tindakan yang nyata yaitu Ibadah, tanpa menjalankan ibadah niscaya semua hanyalah teori belaka dan sesuatu yang kosong.  
  5. Huruf "alif" pada jari kelingking mewakili symbol Ikhlas  الإخلاص , secara nyata jari kelingking adalah jari yang paling terkecil diantara keempat jari yang lain. Seperti kita ketahui beragama Islaam, beriman, berilmu dan melaksanakan ibadah tanpa dilandasi suatu keikhlasan niscaya tidaklah akan sempurna Iman Islam kita, ikhlas dimulai dari hal yang paling terkecil, contoh nyata membayar Zakat 2,5% dari sekian banyak yang kita terima tidaklah akan membuat kita jatuh miskin, akan tetapi sulit sekali terkadang bagi manusia untuk menyisihkan bagian yang sedikit itu. Jarang sekali bersedekah dengan jumlah yang besar dilandasi dengan suatu keikhlasan, contoh kita menyumbang masjid sebesar Rp 1 juta, maka mudah sekai untuk kita selalu mengingat bahkan mengungkit-ungkit perbuatan baik kita, pada hal yang namanya ikhlas itu tidak pernah memperhitungkan, mengingat-ingat apalagi mengungkit-ingkit perbuatan baik kita. Akan tetapi jika kita membiasakan diri kita bersedekah dengan jumlah yang sedikit namun konsisten dan istiqomah sehingga tidak terasa, maka disitulah letak keikhlasan kita yang mana segala sesuatu perbuatan ibadah kita hanya untuk mengharap rido Allah SWT. 




Memahami GHAIB secara logis

 

Seperti yang kita ketahui dan fahami seputar masalah "GHAIB", hal ini mememang sangat menarik dan tidak ada habis-habisnya selalu menjadi bahan perbincangan apalagi di Negara kita ini, dengan adat dan budaya timur yang syarat akan berbau mistik dan metafisik. Ironisnya walaupun kita sekarang hidup di jaman modern yang serba canggih dengan teknologi digital hampir di semua piranti atau gadget yang kita gunakan, tetap tidak bosan-bosannya manusia membahas hal-hal yang berbau ghaib ataupun metafisika.

Sudah menjadi rahasia umum, dari kalangan bwah sampai kalangan status social yang tinggi, hal-hal yang berbau klenik, mistik atau metafisika tidak bias dipisahkan dalam berbagai sendi kehidupan, baik itu dalam dunia pekerjaan, percintaan, pergaulan bahkan sampai dikalangan elit pejabat di Negara kita tercinta ini.

Hmmm....sangat ironis sekali bukan, dimana terkadang keinginan dan hawa nafsu yang kurang terarah sehingga membutakan akal pikiran logika kita dan rela melakukakan hal-hal bahkan yang menyimpang dari aturan syariat demi tercapainya suatu tujuan yang diinginkan.

Dalam kondisi kehidupan seperti ini yang syarat dengan persaingan ketat di berbagai sendi dan aspek kehidupan sehinggaa membuat orang berlomba-lomba dengan berbagai cara untuk mencapai suatu tujuan. Banyak penyedia jasa klenik atau mistik yang sering kita sebut dengan "PARANORMAL" atau dalam bahasa kunonya "DUKUN" bahkan diperindah lagi tata bahasanya dengan istilah "GURU SPIRITUAL" apapun itu toh cara dan praktek yang mereka lakukan tetap saja sama, yaitu sebagai penyedia jasa dalam hal mistik, metafisik ataupun klenik.

Memang bisnis perdukunan seperti itu sangatlah menjanjikan, selain aman dan tidak ada tuntutan, karena masing-masing pihak sepakat baik si penyedia jasa ataupun si pengguna jasa dengan satu komitmen bahwa "segala sesuatu atas kehendak-Nya".....he he he...artinya gak ada garansi harus berhasil toh, tapi yang jelas berhasil tidak berhasil, bayaran tetap aja dengan dalih biaya ritual dan sebagainya. Tetapi hal yang paing menggeitik dalam benak saya, jika paranormal atau dukun tersebut berhasil dalam menangani masalah pasiennya, maka dengan tidak segan-segan si dukun atau paranormal tersebut mengklaim bahwa itulah kehebatannya, itulah karohmahnya, kesaktiannya dsb yang ujung-ujungnya demi mendapat label "ORANG PINTAR"....hik hik hik, tapi lain halnya jik si dukun atau paranormal tersebut gagal alias tidak berhasil dalam menangani keluhan atau masalah si pasien, maka dengan enteng si dukun atau paranormal tersebut berkata dengan bijaknya "bahwa ini semua kehendak Tuhan YME, manusia hanya berusaha tetapi Tuhan lah yang menentukan segala hasilnya".....ckckckck.

Memang sulit sekali membedakan mana yang asli dan mana yang palsu atau pura-pura, mengingat semua tidak ada system garansi (tidak manjur uang 100% kembali) yang akhirnya banyak orang-orang tipis iman menjadi korban, demi suatu jalan pintas malah bukan menyelesaikan masalah, akan tetapi malah menimbulkan masalah yang lebih parah lagi. Tidak segan-segan si dukun atau paranormal menuntut suatu biaya ritual yang sangat mahal bahkan tidak masuk akal, semua itu dengan dalih bahwa "yang dia hadapi mahluk ghaib yang sakti dan sulit untuk ditundukan atau dengan alasan lain". Padahal semua itu gak lebih dari sebuah acting biar terlihat WAHH dan HEBAT sehingga si pasien akan lebih yakin dan takjub.

Hal yang bijaksana memang, mengingat kearifan local dan budaya bangsa ini, yang mana saya sendiri menyadari memang tidak semua permasalahan dalam hidup ini bias diselesaikan secara utuh dan menyeluruh hanya dengan menggunaan kajian akal logika semata. Hal-hal yang tidak kasat mata memang sangat sulit untuk diatasi, itulah yang kita sebut GHAIB atau tersembunyi.

Qur'an Surat Al Baqarah ayat 3:

ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ

Artinya: Iaitu orang-orang yang beriman kepada perkara-perkara yang ghaib, dan mendirikan (mengerjakan) sembahyang serta membelanjakan (mendermakan) sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Dalam surat tersebut dinyatakan memang dalam kehidupan di dunia ini ada yang nyata dan tidak nyata atau kasat mata "Ghaib" tetapi firman Allah menegaskan bahwa setiap orang yang beriman harus meyakini sesuatu yang disebut ghaib dan Allah SWT adalah Maha Ghaib yang mtlak harus kita yakini dan kita sembah.

Suatu definisi umum mengenai GHAIB adalah sesuatu yang tidak terlihat oleh mata, tidak bias diraba atau dipegang, akan tetapi bias kita rasakan kehadirannya. Contoh yang sederhana mengenai ghaib itu sendiri adalah "Rasa Cinta" sulit sekali untuk digambarkan secara visual apa itu cinta akan tetapi sangat dapat sekali kita rasakan kehadirannya dalam kehidupan kita, walaupun setiap orang merasakan lain dan berbeda-beda pengalaman terhadap rasa cinta tesebut, sehingga menghasilkan banyak definisi dan makna mengenai rasa cinta tersebut.

Pada dasarnya setiap benda atau mahluk ciptaan-Nya memiliki dua unsur yaitu nyata dan ghaib, contoh gula, secara nyata wujud gula kita dapat lihat, akan tetapi rasa manis dari gula tersebut sulitlah kita gambarkan secara visual dan hanya bias kita rasakan. Oh...adalagi fenomena ghaib yang kita semua hampir setiap saat merasakan dan mengalami kehadirannya, yaitu ANGIN....siapa yang bisa menggambarkan secara visul wujud dari angina tersebut? tetapi kita data merasakannya toh.

Dari kajian yang amat sederhana tersebut, jelas sudah bahwa GHAIB itu sesuatu yang sangat masuk akal sebenarnya dan bisa kita kaji dan pikirkan keberadaannya dan bagaimana harus menyingkapinya. Walaupun contoh-contoh tersebut diatas tidak dapat mewakili keseluruhan yang ada, akan tetapi dirasa cukup untuk kita memulai akan pemahaman terhadap sesuatu yang disebut ghaib.

Garis besarnya adalah bahwa ghaib hanya bisa dirasakan keberadaanya dan hanya terlihat oleh mata batin kita. Ketajaman mata batin kita tergantung dari amal ibadah serta laku lampah yang kita jalankan. Semakin tinggi tingkat keakwaan seseorang, semakin dia dapat merasakan bahkan kedekatan dirinya terhadap Yang Maha Ghaib, Sang Pencipta Alam Semesta Raya.

Lalu apa perbedaan antara Gahib dan Klenik?

Seperti yang sudah saya bahas diatas bahwa jelaslah bahwa apa itu yang dinamakan GHAIB dan jelas pula dalil baik secara nash dari firman Allah QS. Al Baqarah ayat 3 maupun secara aqliah atau kajian logisnya dan sangat mudah untk dicerna.

Sementara yang disebut "KLENIK" adalah sesuatu yang sifatnya kental dengan praktek perdukunan yang sifatnya takhayul bahkan sulit sekali dicarikan kajian logisnya. Sudah barang tentu tidak ada dasar secara hukum syar'i bahkan praktek perdukunan tersebut hukumnya haram.

DALIL PERDUKUNAN (KLENIK)

 Rasululloh Shalallohu Alaihi Wassalam bersabda:

"Barang siapa mendatangi Araaf (tukang tenun) dan menanyakan sesuatu kepadanya, tidak akan diterima sholatnya selama 40 hari. Shahih Muslim".

dari Abu Hurairah Radhiallohu anhu, dari Nabi, Beliau bersabda:

"Barang siapa mendatangi kahin (dukun) dan membenarkan apa yang dikatakan, sesungguhnya ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhamad Shalallohu Alaihi Wassalam. HR. Abu Daud)"

 "Barang siapa mendatangi Araaf atau kahin dan membenarkan apa yang dikatakan, sungguh ia telah kafir, terhadap apa yang diturunkan Muhamad. Dishohihkan oleh Hakim".
 Dengan demikian, kita semua berharap semoga dngan ulasan yang singkat ini kita dapat lebih memahami dan memantapkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, sehingga kita terhindar dari tipu daya syaithan yang akan menjerumuskan kita ke dalam jurang kesesatan, amin ya Allah ya robbal alamin.

Mohon maaf kiranya bila dalam penulisan artikel ini masih banyak kesalahan baik kata-kata maupun tata bahasanya dan tidak ada maksud untuk menyinggung apalagi memojokan pihak-pihak tertentu. Atas saran dan kritiknya, saya ucapkan terima kasih dan semoga kita semua selalu diberkati Allah SWT amien.

Karawang, 19 November 2013


 


Minggu, 17 November 2013

Tawasul: Menembus Dimensi Kewalian

 

Kisah perjalanan para waliyulloh di era pertengahan maupun di zaman sekarang tak pernah sepi dari cerita yang sangat menakjubkan.

Walau berabad-abad yang silam mereka telah meninggalkan, pulang ke rahmatulloh, namun nama dan lakon hidup mereka masih tetap abadi dan terus di kenang sepanjang masa.

Tidak hanya itu, tempat dan atap di mana sosok seorang waliyulloh di kebumikan, niscaya tempat itu menjadi naungan para umat manusia dalam mencari berkah atau hanya berziarah.

Kisah hidup mereka dari berbagai ulasan ahli sejarah maupun dongeng para orang tua, menjadi suatu kajian berbagi kalangan dan pihak, khususnya umat Islam untuk terus mengembangkan berbagai ilmu dan pemahaman serta segala bentuk tingkah laku dan sifatnya untuk selalu ditiru. Sehingga dari keluasan ilmu yang pernah diajarkan oleh para waliyulloh masa lalu masih terus bermanfaat untuk kita di zaman sekarang.

Bercerita tentang sosok waliyulloh tentu kita banyak berkhayal karena terobsesi akan kelebihannya, baik dari segi karomah yang dimilikinya maupun dari kebersihan hati serta peran hidup sebagai derajat teragung di hadapan Alloh SWT.

Dalam konsep batin kita sebagai manusia di era modernisasi seperti sekarang ini, ingin sekali bertemu atau setidaknya bisa sedikit diberi perlindungan baik tentang keluasan ilmu maupun yang lainnya.

Namun sayangnya zaman kewalian sudah tidak bisa kita temui lagi, sehingga untuk mencari guru / mursyid yang bisa menuntun kita menuju puncak ma’rifatillah teramat sulit dan langka.

Lantas, masih adakah sosok waliyulloh di zaman ma’asi seperti sekarang ini? Mungkin jawabannya (masih ada) sebab setiap perputaran zaman ke zaman, titisan dari sifat Rosululloh SAW. Di muka bumi ini harus ada yang memegang, yaitu disebut dengan nama, “Quthbul Muthlak”
Tapi di manakah keberadaan mereka sebagai waliyulloh kamil bisa kita temui?… disinilah para umat manusia mulai kehilangan kontak.

Sebab bagaimanapun juga antara zaman kewalian dengan sekarang ini jauh sekali perbedaannya.
Di zaman wali, sosok waliyulloh dapat kita jumpai di berbagai daerah, karena derajat wali pada masa itu sangat ditampakkan oleh Alloh SWT. Sebagai Himmatul Ummat sosok manusia yang mempunyai kharisma dan karomah tinggi di hadapan ummatnya.

Sedangkan di zaman sekarang para waliyulloh, banyak menutup diri dari pandangan sifat manusia karena alasan fitnah.

Mengapa disebut fitnah? Mengulas realita zaman ke zaman, kehidupan manusia selalu berubah-ubah. Nah, seperti zaman sekarang ini misalnya, sifat manusia lebih terarah kepada sifat duniawiyah dan terbelakang dalam hal ilmu agama.

Segala argumen dan hujjah banyak memakai logika dan pikiran belaka, bukan dari hukum atau pemahaman ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, atau keluasan kitab para Ahlillah.
Sehingga dalam kenyataannya, umat manusia lebih banyak tertutup hati karena kebodohan akan ilmunya dan akhirnya Alloh SWT. Menjauhkan mereka dari orang-orang yang menjadi kekasih-Nya.
Lewat nukilan kitab para ulama khosois, seperti “IHYA ULUMUDDIN, TAFSIR QUR’AN AL-MUNIR, dan syarakh BUCHORI” banyak menerangkan: “mencari guru mursyid yang bisa menjalurkan suatu keselamatan dunia akherat di zaman sekarang, bagai KAL IBRITIL AHMAR / mencari microorganisme dalam tubuh kita sendiri”.

Karena saking sulitnya, sehingga 97% ummat manusia banyak yang mati dalam keadaan tersiksa, karena tidak membawa amal kebajikan yang memadai.
Memang sungguh sangat mengerikan para ummat manusia di zaman yang sudah terbilang akhir ini. Kita semua harus bekerja keras untuk mencapai tujuan mulia dihadapan Sang Kholik di akhir zaman nanti.

Sebagai ummat manusia yang penuh ke-dho’if-an, penulis ingin mengajak bersama-sama dalam meraih derajat mulia di sisi-Nya kelak, lewat jalan bertawassul.
Namun sebelum pembedaran tawassul ini penulis kupas secara detil, alangkah baiknya bila kita mulai membersihkan hati dari sifat yang kurang diridhoi-Nya, mulai dari sekarang.

Sebab, bagaimanapun semangatnya hidup kita dalam pembuktian suatu wujud ilmu, apabila hati kita belum bersih dari sifat riya, ujub, takabur, dan dipaksakan dalam melakukan setiap meritualkan amalan / wiridan, karena suatu alasan, ada tujuan tertentu, dan bila tujuan kita sudah terkabul, suatu amalan / wiridan ditinggalkannya lagi, maka apapun semangat hidup kita dalam hal keikhlasan hati belum terbilang bersih.

Nah untuk mengenal arti tawassul secara luas, misteri akan beberkan rahasianya, sehingga, walau zaman telah berubah dan syafa’at para nabi dan waliyulloh telah berkurang, semoga dengan bertawassul ini kita masih tetap bisa berhubungan dengan para waliyulloh hingga mencapai kesuksesan derajat termulia.

Tawassul atau wasilah, adalah suatu alat penghubung antara manusia hidup dengan orang yang sudah tiada (mati).

Dalam konsep, tawassul sering dilakukan di berbagai tempat peziarah maupun tempat peribadatan, seperti, saat akan memulai suatu dzikir, baca barjamzi, tahlilan dan sebagainya.

Biasanya, tawassul disini mempunyai saf / runtutan dari para nabi, malaikat, waliyulloh dan semua ahli kubur dan lainnya, namun untuk membuktikan bahwa bertawassul adalah suatu alat penghubung untuk yang dituju, harus mempunyai peraturan dan tata cara tersendiri.

Lewat ulasan para waliyulloh kamil, mereka banyak memberi suatu pendapat, di antaranya:
Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani, pernah berujar, “Bila aku mati kelak, ruhku akan terus hadir di sela orang-orang yang setiap malamnya mengistiqomahkan, bertawassul kepadaku dengan keikhlasannya, sambil tak pernah henti-hentinya membaca surat Al-fatihah sebanyak 20.000 x setiap malamnya”
Menurut Imam Ibnul Aroby, “Barang siapa yang bertawassul kepadaku secara istiqomah dengan hitungan 7 jam lamanya (dari jam 21.00 s.d. 04.00) niscaya aku akan hadir tanpa perantara / suruhan / khodam, di manapun kamu menginginkannya”.

Menurut imam Abu Hasan Asy-Syadili r.a., “aku kan bertanggung jawab demi keselamatanmua di dunia dan akherat, dan aku akan terus memohonkan kepada-Nya atas segala permohonanmu, dan aku akan menyambangimu / menjumpai di setiap malammu dan aku akan membawamu hidup-hidup di antara kenikmatanku (surga) apabila kamu terus beristiqomah bertawassul kepadaku di setiap malamnya, dengan memudawamkan 5000x surat Al-Fatihah dan 4500x asma Hasbunalloh wa ni’mal wakil”.

Menurut imam Abu Sufyan Atssaury, “Berbahagialah wahai ummatku, sesungguhnya aku diberikan keluasan ilmu sebagai hamba yang mempunyai derajat syafa’at di kemudian hari. Istiqomahkan bertawassul kepadaku di setiap malamnya dengan terus membaca surat Al-Fatihah 7700 x dan solawat nabi (Allohumma Sholli ala sayidina Muhammad) 7000x niscaya ruhku akan selalu hadir setiap kau membutuhkanku, dan percayalah kepadaku, karena sesungguhnya aku takkan tinggal diam untuk selalu mendoakanmu sampai mencapai derajat mulia (surga)”.

Menurut Syarifah Robiatul Adawiyah, ”sesungguhnya aku diciptakan antara hidup dan setelah mati hanya punya satu tujuan, mengabdi kepada Alloh SWT. Dan barang siapa yang bertawassul kepadaku secara istiqomah setiap malamnya dengan membaca surat Al-Fatihah 3333x dan membaca istighfar sebanyak 30.000x niscaya aku akan terus hadir menjumpaimu sampai dirimu tanpa sadar menjadi seorang derajat waliyulloh kamil”.

Menurut imam Asy-Sya’roni, “Jangan kau sesekali meninggalkan istiqomah bertawassul kepada para nabi, malaikat dan wali lainnya. Sesungguhnya bertawassul adalah suatu kebajikan hati dalam mencari syafa’at dan rahmat para Ahlillah yang menjadi kekasih-Nya”. Tambahnya lagi,
“sesungguhnya derajat yang paling mudah didapat adalah, kedekatan hati kita dengan para Ahlillah yang menjadi kekasih-Nya, maka tiada lain dan tiada bukan, istiqomahkan bertawassul kepadanya!”.

Menurut imam Ibnu Athoillah, “Keluasan dan penghayatan ilmu sangat diperlukan oleh setiap ummat di dunia. Namun, sebagai rasa takdzim akan penghormatan kepada para kekasih Alloh SWT. Lebih sangat diutamakan. Karena sesungguhnya batu loncatan kita sebagai manusia hidup tak lain adalah bantuan rahmat dari para Ahlillah yang sudah mendahului kita, kuncinya perbanyaklah bertawassul untuknya”.

Menurut pendapat para walijawa (walisongo), “Gunakanlah waktumu untuk kebajikan di jalan-Nya. Sesungguhnya sifat manusia terbagi dalam kelebihan dan kekurangan. Sebagai seorang mahluk yang serba kekurangan akan ilmu dan pengetahuan, dekatkanlah dirimu kepada-Nya lewat jalan para kekasih-Nya (bertawassul) sesungguhnya hanya lewat jalan inilah kamu sekalian akan mendapat derajat mulia di sisi-Nya”.

Semoga dengan pembedaran ini, kita semua bisa melaksanakannya dengan tulus ikhlas serta mendapatkan syafaat-Nya. Amin.

Mukasyafah Menembus Pembatas Dua Samudra

Ibnu Abbas RA di dalam menafsirkan ayat di atas (QS. az-Zumar/39; 42) berkata:

قَال: بَلَغَنِى أَنَّ أََرْوَاحَ الأَحْيَآءِ وَالأَمْوَاتِ تَلْتَقَى فِى الْمَنَامِ فَيَتَسَاءَلُوْنَ بَيْنَهُمْ, فَيُمْسِكُ اللهُ أَرْوَاحَ الْمَوْتىَ وَيُرْسِلُ أَرْوَاحَ الأَحْيَآءِ إِلَى أَجْسَادِهَا

“Telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya ruh orang hidup dapat bertemu dan berkomunikasi dengan ruh orang yang sudah mati di dalam mimpinya, kemudian ruh orang mati ditahan oleh Allah, sedang ruh orang yang sedang tidur dilepaskan kembali kepada jasadnya” . (Ibnul Qoyim, “Kitab ar-Ruh” ; 19)

Ibnu Abi Khaitam RA berkata di dalam penafsirannya atas firman Allah: “Wallaatii Lam Tamut fii Manaamihaa” (dan ruh yang belum mati di dalam tidurnya). berkata: “Allah memegang ruh orang yang mati dalam tidurnya, maka ruh orang yang hidup bertemu dengan ruh orang yang telah mati, mereka saling berkomunikasi dan saling mengenal. Kemudian ruh orang hidup dikembalikan ke jasadnya di dunia untuk meneruskan sisa hidupnya yang sudah ditentukan dan ruh orang yang sudah mati dikembalikan kepada jasadnya yang di tanah”. (Ibnul Qoyim, Kitab ar-Ruh : 19)

Alam jasmani dan alam ruhani ibarat dua samudra yang dibatasi daratan sehingga keduanya tidak dapat bertemu, akan tetapi dengan kehendak Allah suatu saat dibiarkan bertemu, seperti alam mimpi dan alam jaga. Sesungguhnya alam mimpi itu bagian dari alam barzah. Terbukti, seandainya orang yang bermimpi itu tersesat jalan di alam mimpinya hingga tidak dapat kembali ke alam jaga, maka bisa dibayangkan apa yang dilakukan oleh orang lain terhadap jasad yang telah ditinggalkan kehidupan tersebut, tentunya segera diantar ke liang lahat. Allah menyatakan dua alam itu dengan firman-Nya:

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ (19) بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ

“Dia (Allah) membiarkan dua lautan mengalir yang kemudian saling bertemu-Antara keduanya ada batas yang tidak dapat dilampaui”. (QS. ar-Rahman/55; 19-20)

Dimensi jasmani disebut Basyariah, sedangkan dimensi ruhani disebut Nubuwah atau Risalah bagi seorang Nabi/Rasul, dan disebut Walayah (bagi orang beriman yang sholeh)”. Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ

“Katakan bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa”. (QS. Fushilat:/41; 6)

Yang dimaksud basyariah adaalah ‘Ruh kehidupan’ yang menghidupi ‘jasad kasar’ manusia, baik yang terbit dari kemauan (irodah) maupun kemampuan (qudroh). Basyariyah ini mencakup segala aspek kecerdasan manusia termasuk juga intelektual, spiritual dan emosional. Adapun yang dimaksud Nubuwah atau “walayah” adalah apa yang dimaksud dengan ayat di atas; يُوحَى إِلَيَّ Yuuhaa ilaiyya (diwahyukan kepadaku). Yaitu berupa wahyu atau ilham atau inspirasi yang masuk di dalam hati orang beriman yang datangnya dari urusan ketuhanan. Dengan walayah itu supaya manusia terbimbing mengikuti hidayah Allah sehingga jalan hidupnya berjalan mengikuti ‘ketetapan Allah’ sejak zaman azali.

Rasulullah SAW menyatakan hal itu dengan sabdanya: “Allah mendidikku dan Allah memperbaiki pendidikan-Nya kepadaku” (atau dengan kalimat yang searti). Sebagaimana juga yang dinyatakan Allah melalui firman-Nya:

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ

“Sesungguhnya Waliku ialah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia memberikan Walayah kepada orang-orang yang sholeh” . (QS.al-A’raaf: 7/196)

Dengan walayah berarti manusia mendapat dua ‘ruh kehidupan’, pertama dari seluruh aspek kecerdasannya sendiri dan kedua yang datang dari rahasia tarbiyah (pemeliharaan) Allah. Dengan walayah berarti manusia mendapatkan tingkat derajat atau Maqom di sisi Allah, meskipun maqom itu secara lahir merupakan buah ibadah dan perjuangan. Dengan maqom itu seorang hamba berpotensi mendapatkan fasilitas (syafa’at), baik secara ilmiah maupun amaliah yang hakekatnya merupakan sistem tarbiyah rahasia yang isinya berupa penjagaan, pertolongan dan pemeliharaan yang sumber asalnya datang dari warisan para Nabi dan para Rasul. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

العلمآء ورثة الأنبيآء
“Ulama’ adalah pewaris para Nabi” .

Untuk menghidupkan kehendak walayah, manusia terlebih dahulu harus mampu meredam kehidupan basyariyah, yang demikian itu dilakukan dengan tujuan semata-mata menggapai ridlo Allah. Itulah hakekat mujahadah di jalan Allah atau dengan istilah lain disebut “meditasi Islami”.

Ketika dengan mujahadah dan riyadhah yang dilakukan, seorang salik berhasil menghidupkan kehendak walayah—walaupun sedetik atau lebih singkat dari itu, maka berarti saat itu memasuki suatu kondisi seperti “alam orang mati” atau “alam orang tidur”. Sebagaimana yang dimaksud dengan ayat di atas: “Allahu Yatawaffal an-fusa Hiina Mautihaa” (QS. 39: Ayat 42), itulah yang dimaksud “mati dalam hidup”. Dalam keadaan seperti itu, orang tersebut berpeluang memasuki suatu potensi terjadinya interaksi ruhaniah, baik terhadap orang hidup maupun orang mati, namun itu manakala mujahadah dan riyadhoh tersebut sejak awal sudah dikondisikan dengan pelaksanaan tawasul secara ruhaniah kepada guru-guru ruhaniah baik yang hidup maupun yang sudah meninggal dunia.

Ketika proses pelaksanaan dzikrulah dilakukan oleh seorang salik dengan benar sehingga mampu melewati titik kulminasi antara dua alam, maka akan membuahkan suatu proses pemahaman hati yang disebut Fikir, lalu buah Fikir itu disebut Ibroh (kesimpulan). Yang dimaksud dengan Dzikir, Fikir dan Ibroh adalah tingkat pencapaian (maqamaat) yang harus dicapai oleh seorang hamba dalam rangka melaksanakan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(QS.Ali Imran/191)

Setiap terjadi perpindahan dari satu tingkat kepada tingkat yang lain, dengan izin Allah seorang salik memasuki titik klimaks perjalanan ruhani, itulah batas alam lahir dan alam batin yang ada dalam jiwa manusia. Meskipun titik klimaks itu dialami hanya dalam waktu sangat singkat, yang keadaannya seperti antara sadar dan tidak sadar padahal sadar, saat-saat seperti itu merupakan kondisi yang sangat ditunggu-tunggu oleh para salik. Karena setelah masa klimaks itu terlampaui dan kesadaran berangsur-angsur kembali sempurna, segala sesuatu yang datangnya dari ‘urusan ketuhanan’ dapat terjadi diluar dugaan. Ketika pengosongan terkondisi dengan sempurna maka yang masuk setelah itu diharapkan datangnya dari urusan ketuhanan.

Dalam keadaan seperti itu, seorang salik dapat merasakan kenikmatan ruhani yang luar biasa yang tidak dapat digambarkan oleh suatu katapun. Kenikmatan ruhaniyah tersebut akan membekas seumur hidup. Demikian itu karena hati sang pengembara telah mendapatkan “Futuh” (terbukannya matahati) dari Tuhannya. Hati yang rindu telah menemukan ‘buah ibadah’ yang dipetik di dunia yang selanjutnya mampu dijadikan landasan untuk melanjutkan perjalanan. Dengan pengalaman spiritual itu, menjadikan mereka tidak lagi mudah tergoda oleh tipu daya setan yang selalu menghadang jalan ibadah.

Seperti itulah proses masuknya ‘ilmu rasa’. Pemahaman hati yang mampu menancapkan kenikmatan azaliah yang diturunkan di dunia fana yang terkadang menjadikan hati seorang hamba ‘mabuk cinta’ sehingga mendorongnya berbuat lebih mengutamakan urusan akherat daripada urusan dunia.

Pengalaman spiritual yang mampu menjadikan hati seorang hamba yakin terhadap Allah, rasul-Nya dan hari akherat. Ilmu batin yang menjadikan manusia mampu menindaklanjuti dan mengaplikasikan seluruh potensi kecerdasan secara lahir yang sudah dimiliki. Ilmu yang menjadikan manusia pandai berbuat untuk menata diri sendiri bukan hanya pandai berbicara untuk menata urusan orang lain. Keadaan yang dipaparkan di atas digambarkan Allah dengan beberapa ayat di bawah ini. Allah berfirman-Nya:

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ – وَمَا أَمْرُنَا إِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran * Dan urusan Kami hanyalah satu, bagai satu kedipan mata”. (QS. al-Qomar/54; 49-50)

Di dalam al-Qur`an Surat yang lain Allah telah menggambarkannya dengan lebih terperinci sebagaimana firman-Nya:

إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (16) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (17) لَقَدْ رَأَى مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى

“Ketika Sidroh diliputi oleh yang meliputi – Penglihatan tidak berpaling dan tidak melampaui – Sesungguhnya dia telah melihat sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang paling besar”. (QS. an-Najm/53; 16-18)

Lafad as-Sidroh dalam ayat di atas, menurut pendapat sebagian Ulama’ ahli tafsir, ialah asy-Syajaroh, yang berarti pohon. Yaitu pohon yang tumbuh di dalam hati sanubari seorang hamba. Sebagaimana termaktub dalam QS. Ibrahim; 24.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan, Kalimat yang baik seperti Pohon yang baik…..”. (QS. Ibrahim; 14/24)

Adapun secara khusus yang dimaksud lafad “Sidroh” adalah Sidrotul Muntaha. Sebagaimana firman Allah:
عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهى
“Di Sidrotil muntaha”. (QS. 53; 14)

Sidrotulmuntaha adalah maqaamat (terminal) terakhir yang mampu dicapai indera (alat perasa) makhluk meskipun harus dengan bimbingan Wahyu. Artinya; setelah seorang hamba mampu melewati terminal tersebut, berarti ia akan memasuki dimensi yang berbeda. Yakni dimensi alam ruhaniah, di mana seorang hamba berpotensi berinteraksi dengan ruhani para guru-guru ruhaniah yang sudah wafat. Seperti orang berhasil membuka situs di alam mayapada (internet), kemudian ia melihat data, ketika ia berhasil men-download apa-apa yang dilihatnya ke dalam file yang ada di dalam hard disk computernya, maka proses perpindahan data dari situs ke dalam file tersebut adalah gambaran proses masuknya “Ilmu Laduni” dalam hati seorang murid yang dihasilkan melalui proses interaksi antara seorang murid dengan guru mursyidnya yang sudah mati atau disebut BERKOMUNIKASI DENGAN ORANG MATI.

Hal tersebut bisa terjadi, bukan karena ruh orang mati hadir kembali di dunia, namun dengan izin Allah ruhani orang yang masih hidup berpotensi menembus dimensi alam barzah serta dapat memindahkan apa-apa yang disimpan di sana. Yang dipindahkan itu adalah atsar (tapak tilas ibadah) yang sudah dilakukan oleh para pendahulunya. Atsar tersebut, walaupun pemiliknya sudah meninggal dunia akan tetap terjaga sampai hari kiamat di Lauh Mahfudz, sebagai sebuah diary yang nantinya dapat dibaca kembali oleh pemiliknya. Bagaikan situs yang bertebaran di mayapada, maka seorang hamba yang mampu mengakses dengan pelaksanaan tawasul kepada pemiliknya dapat memanfaatkan data maupun fasilitas yang tersimpan di dalamnya. Allah mengisyaratkan hal itu dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfudh)”. (QS. Yaasin; 12)

Jadi, salah satu buah yang bisa dipetik dari hasil sebuah proses interaksi ruhaniah antara murid dan gurunya adalah ‘ilmu laduni’ yang diwariskan oleh pemilik sebelumnya yaitu guru Mursyid yang ditawasuli, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Buah yang dipetik itu adalah bentuk transfer pemahaman hati, bukan ilmu pengetahuan secara aqliah dan juga bukan penampakan secara hayaliah. Inilah buah thoriqoh yang paling utama, maka jadilah kadang-kadang ilmu yang dimiliki para murid sama jenis dan sifat dengan ilmu yang dimiliki guru Mursyidnya.

Manakala buah yang didapatkan dari interaksi antara dua dimensi yang berbeda itu berupa penampakan-penampakan dalam bentuk gambar yang masih mengandung keraguan dalam hati, maka yang demikian itu bukan merupakan buah interaksi ruhaniah yang dicari. Akan tetapi hasil rekayasa sihir yang dimunculkan oleh setan jin di dalam hayal manusia yang tujuannya untuk menyesatkan perjalanan ibadah. Hal itu bisa terjadi, karena pelaksanaan tawasul tidak terbimbing oleh guru ahlinya. Akibat dari itu, orang tersebut hanya pandai berbicara tetapi tidak dapat mengetrapkan ilmunya dalam perilaku hidupnya sendiri. Allah memberikan gambaran orang tersebut dengan firman-Nya yang artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”.(QS.al-Hajj/11)

Empat Tingkatan Spiritual Islam

Firman Allah Ta’ala:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون

“Tidak Aku ciptakan jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz –Dzariyat: 56 )

Begitulah bunyi firman Allah SWT, namun dalam perjalanan menuju kesempurnaan ibadah tersebut tidaklah semudah apa yang kita ucapkan, dimana bala tentara Iblis dan syaithan akan selalu berupaya untuk menghalang-halangi anak cucu Adam A.S. dalam menjalankan ibadahnya.
Perlu kita ketahui dan kita renungi, bahwa tidaklah sampai kita kepada kesempurnaan ibadah tanpa ada suatu keyakinan (iman) dan pemahaman yang kuat (ilmu). Dengan itu Allah mengutus para Nabi dan Rasulnya guna membimbing umat manusia menuju jalan Tuhannya.
Iman dan Ilmu harus berjalan seiring dan seimbang, dimana iman tanpa ilmu bagaikan berjalan di tempat yang gelap, keran ilmu itu sendiri merupakan pelita dalam menjalani kehidupan, begitu pun juga ilmu tanpa iman bagaikan berjalan tanpa arah tujuan.
Iman adalah mengantarkan kita kepada tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu ibadah kepada Allah SWT dan ilmu adalah merupakan sarana kita dalam menjalankan ibadah tersebut. Sebagai ilustrasi:

1. Iman tanpa ilmu bagaikan berjalan di tempat yang gelap
” Seseorang dengan keyakinannya yang sangat kuat akan menempuh perjalanan ke suatu tempat, akan tetapi dia tidak mengetahui dimana letak dan arah tempat yang akan dia tuju namun dia tetap saja berjalan sesuai dengan keyakinannya, niscaya orang tersebut tidak akan pernah sampai ke tujuan karena dia tidak mengetahui ilmu menuju ke arah tujuan tersebut”

2. Ilmu tanpa iman bagaikan berjalan tanpa arah tujuan
“Seseorang yang sangat pintar dan mengetahui berbagai macam keilmuan, akan tetapi dia tidak pernah tau kemana arah tujuan hidupnya dan untuk apa ilmu yang telah dikuasainya, maka ilmu tersebut hanya akan dikendalikan oleh hawa nafsunya sehingga tidak memberikan kemaslahatan bagi dirinya sendiri maupun sekitarnya”
Untuk itulah wajib hukumnya bagi kita sebagai umat Islam dalam menuntut ilmu baik ilmu lahiriah ataupu ruhaniah.

Tahapan dalam menuntut ilmu
  • Syari’at
  • Tarekat
  • Hakekat
  • Ma’rifat
Ilmu sebagai sarana ibadah dan wajib hukumnya bagi umat islam dalam menuntut ilmu, dimana sudah sangat jelas dari ayat Al Qur’an yang pertama Allah turunkan yaitu Surat Al Alaq, yang mana ayat pertama berbunyi “iqro” artinya baca. Sudah barang tentu dengan membaca kita akan mengetahui sesuatu, dengan mengetahui maka kita akan memahami  dan dengan memahami maka kita akan mengenal sesuatu tersebut dan tidak terkecuali mengenai Tuhan mu yaitu Allah SWT.

Syari’at
Menjalankan ilmu syari’at adalah mutlak dan wajib hukumnya sebelum menuju ke tingkatan selanjutnya, dimana panduannya yaitu Al Qur’an, Assunnah (Al Hadist) dan Ijtihad yang mengatur seluruh aspek kehidupan baik yang berhubungan langsung dengan Allah (habluminallah), sesama manusia (habluminannas) maupun dengan alam semesta (hablumil’alam). Ilmu syari’at merupakan tahapan pertama dalam seuatu keilmuwan ruhani islam yang sering kita sebut dengan ilmu muamalah. Minimnya ilmu syari’at akan mudah sekali terjerumus atau dibelokan oleh tipu daya setan dalam menjalani proses tarekatnya. Ilmu syari’at yang dangkal bagaikan suatu pondasi bangunan yang rapuh dan mudah hancur.

Perumpamaan ilmu syari’at : Masih berupa kuliah – kuliah saja/Cerita-Cerita/Ceramah, Khotbah-khotbah, Jelas BELUM BERHASIL, karena BELUM DILAKSANAKAN, belum diperjuangkan secara gigih, (Baru pada taraf keyakinan ilmiah saja = ilmu yakin dan ainal yakin), oleh sebab itu BELUM TERUJUD ILMU TAUHID YANG SEBENAR – BENARNYA dan BELUM PULA MEMPEROLEH KEMENANGAN. ( Ilmu yakin dan ainal yakin adalah masih “dusta” belum lagi merupakan kebenaran yang Faktuil, HAQQUL yakin baru BENAR).

Tarekat
Seorang penuntut ilmu agama akan memulai pendekatannya dengan mempelajari hukum Islam, yaitu praktik eksoteris atau duniawi Islam, dan kemudian berlanjut pada jalan pendekatan mistis keagamaan yang berbentuk ṭarīqah. Melalui praktik spiritual dan bimbingan seorang pemimpin tarekat, calon penghayat tarekat akan berupaya untuk mencapai ḥaqīqah (hakikat, atau kebenaran hakiki).
”Tarekat adalah  beramal dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang semuamnya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syekh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”
Perumpamaan ilmu Tarekat: Cara/Metode Pelaksanaan TEKNIS untuk mencapai HAKIKAT ILMU TAUHID itu, untuk mencapai HAQQUL YAKIN-nya; Tarikat adalah juga masa PEJUANGANNYA (jatuh bangun-nya dalam perjuangannya, dalam Pertempuran-nya melawan IBLIS, yaitu membersihkan DIRI yang BATHIN secara tuntas/total dari semua ANASIR ANASIR IBLIS, dari semua gelombang – gelombang dan pengaruh – pengaruh IBLIS dalam diri, barulah ia mendapat kemurnian TAUHID dalam ber – IBADATH dan dalam ber-AMAL, BARULAH TERCAPAI REALITA TAUHID yang sebenarnya yaitu : KEMENANGAN HAKIKI KEKAL DAN ABADI, karena Kalimah ALLAH TELAH PENUH BERSEMAYAM dalam DIRI BATHIN/HATI sanubarinya, hingga barulah ia mampu mencapai pelaksanaan SHALAT yang benar – benar Khusuk, yang membawa Kemenangan Dunia dan Akhirat.!Hadits Qudsi :
“Qaalalaahu ta’aalaa Lam yasa’nii ardhii wa laa samaa-ii wawasi’anii Qalbu’abdil mukminul layyinul waadi’u.”
Artinya : “Allah ta’ala berfirman : Tak dapat memuat Zat-Ku , Bumi dan Langit-KU; yang dapat memuat ZAT-KU, ialah hati hamba-KU yang Mukmin, Lunak dan Tenang” ( H.R. Ahmad dari Wahab bin Munabbih (= La allaakum Tuflihuun!)
Hakekat
Definisi menurut teori:
Perkataan hakikat dari kata haqq yang artinya kebenaran. Ilmu hakekat adalah ilmu mencapai kebenaran.
Nah yang ini adalah definisi menurut praktek (mudahnya):
(Kuliahnya sama dengan Syari’at pada nomor 1) tetapi sudah BERHASIL HAQQUL YAKIN, SUDAH TERUJUD/SUDAH MENJADI KENYATAAN ILMU TAUHID itu dan oleh karenanya SUDAH MENCAPAI KEMENANGAN, (sudah HAQQUL YAKIN dalam keyakinan dan dalam amalan) lihat nomor 2 diatas.
Ilmu Hakikat ini kelanjutan dari belajar tasauf atau Zikirullah, langsung otomatis menuju hakikat jika sudah mempelajari yang no.2. Silahkan dibaca di Tulisan “Belajar dari Ilmu Kelapa”. Jika dikiaskan, hakikat ini adalah mencapai proses santan, manfaatnya sudah kelihatan begitu nyata, namun tidak berhenti disini karena santan itu masih mudah busuk, harus diproses kembali agar menjadi “minyak” atau makrifat.

Ma’rifat
(telah TETAP ISTIQAMAH dalam REALITA ILMU TAUHID) Ia telah siap dalam PENERAPAN ILMU TAUHID yang sebenarnya dan KEHIDUPAN DUNIA AKHIRATH bagi DIRI dan kelilingnya dan seluruh JAGAD RAYA, karena : Dalam seluruh tubuhnya, dalam setiap tetes darahnya, dalam tiap gerak nafasnya dan tiap gerak gerik anggotanya, telah HADIR KALIMAH ALLAH (telah menyebar secara keseluruhan Kalimah Allah itu keseluruh tubuhnya, berpangkal dari sumbernya (HATI Sanubarinya), lihat diatas pada nomor 2 (TARIKAT).

Dan dengan Kalimah Allah yang telah berada dalam seluruh dirinya itu, yang dianugerahkan Allah padanya, ia mampu meneruskan pekerjaan pekerjaan RASULULLAH SAW sebagai Khalifah Rasul dan Khalifah Allah dimuka bumi yaitu : Meneruskan membawa Rahmat Allah langsung dari Allah SWT, kepada seluruh Alam semesta, sesuai dengan Ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits – hadits Nabi, seperti yang tertera dibawah ini :

1. Q.S. Al Anbiyaa, Ayat 107 :
“WAMAA ARSALNAAKA ILLAA RAHMATAN LIL ‘AALAMIIN”
Artinya : “Kami tiada mengutus engkau (ya Muhammad),melainkan menjadi Rahmat untuk semesta alam.”
(Tiada Aku turunkan engkau ya Rasul kedunia, melainkan untuk membawa rahmat-KU keseluruh Alam, Langsung dari-Ku).

Orang seperti tersebut diatas yang mampu meneruskan pekerjaan – pekerjaan Rasulullah SAW sebagai Khalifah Rasul dan Khalifah Allah dimuka bumi untuk meneruskan membawa Rahmat Allah pada seluruh alam semesta ( antara lain tidak akan datang kiamat, kalau masih ada orang – orang/yang benar benar berdzikir Allah, Allah) (H.R. Muslim).

Tentu saja Dzikir yang dimaksud adalah dzikir yang HIDUP dan BERJAYA yaitu dzikir dari orang – orang yang telah mencapai maqam sempurna Tauhid nya pada Allah SWT yaitu : dari Golongan II, III, IV, yang dewasa ini jarang sekali dapat ditemui! Bukanlah Dzikir dari orang orangdari golongan I, yang banyak sekali ditemui! Barang kali berjuta banyaknya! Tetapi tidak bertenaga/tidak berjaya akan Dzikirnya sama sekali, karena hanya berdzikir pada lidahnya saja, sehingga tidak dibalas Allah SWT, karena tidak memenuhi syarat Dzikir yaitu TIDAK MEMAKAI WASILAH ALLAH, yang menyampaikan Dzikirnya pada sisi Allah SWT.! Sehingga TIDAK TERBALAS.! (Guru Besar Sufi Prof. Dr. H.SS Kadirun Yahya Muhammad Amin, M.Sc.)

sumber: http://salwintt.wordpress.com/artikel/109-2/apakah-ilmu-hakekat-itu/